Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune by mail

Menuju Tatanan Masyarakat Madani

12:16 AM Posted by Andy Hariyono
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...”
(QS Ali Imran [3]: 110).


Telah kita diskusikan bersama sebelumnya mengenai beberapa teori kepemimpinan, dan dua prespektif besar kepemimpinan menurut Timur (Islam) dan Barat. Pada kesempatan kali ini penulis akan berusaha memaparkan secara singkat mengenai kepemimpinan sebagai solusi terwujudnya masyarakat madani.

Terminologi masyarakat madani di Indonesia muncul ketika Dato Anwar Ibrahim sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa istilah tesebut sebagai terjemahan dari civil society lewat ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995 . Namun, dewasa ini istilah masyarakat madani pun menjadi “trend” dikalangan cendekiawan muslim dan para tokoh politik di indonesia seperti, Nurcholish Madjid, Emil Salim, Amien Rais, mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto dan Soesilo Bambang Yudoyono.

Masyarakt madani (Civil Society) atau secara sederhana bermakna masyarakat yang berperadaban merupakan impian bagi setiap warga negara. Peran manusia baik sebagai individu maupun masyarakat sangatlah strategis demi terwujudnya masyarakat yang beradab, karena baik subjek maupun objeknya adalah mereka (Baca: Manusia). Dari sana perlu penulis sampaikan pentingnya memahami hakikat manusia itu sendiri.

Falsafah Pergerakan PII (FG-PII) mencantumkan poin khusus menganai hakikat manusia, yakni terdiri dari dua dimensi, pertama adalah unsur kedirian dan kedua hakikat itu sendiri atau makna hadirnya manusia. Masing-masing dimensi merujuk pada tafsiran dan analisa filosofis terhadap proses pentahapan penciptaan manusia seperti diceritakan dalam Al Qur’an. Berikut penjelasan ke dua unsur tersebut yang saya kutip dari FG-PII;

a. Unsur Kedirian
Proses penciptaaan manusia melalui tahapan tertentu yang membentuk unsur kedirian manusia. Pertama bermula dari penciptaan jasad yang berasal dari sari pati tanah ( 7:148, 11:61, 21:8, 23:12, 55:14). Unsur jasad mengandung makna bahwa manusia berasal dari alam dan sepenuhnya terikat dengan hukum-hukum alam atau sunatullah. Di dalam jasad terdapat kehidupan (al-hayat) yang menggerakan tubuh manusia berinteraksi dengan realitas alam. Al Qur’an menyebutkan bahwa kehidupan manusia bermula dari air (21:30, 24:25). Hidup bagi manusia berarti mengalir dan bergerak seperti air. Mempunyai kecenderungan (instink) dan pertumbuhan yang bermula dari air mani yang dibuahi dalam kandungan (rahim). Setelah melalui tahapan tertentu di dalam kandungan akhirnya lahir sebagai manusia sempurna (23:13-14,) dari bayi tumbuh menjadi kanak-kanak, dewasa, tua dan mati. (22:5)

Manusia dibedakan dengan makhluk lain adalah karena ditiupkannya ruh Tuhan yang menjadi salah satu unsur kedirian manusia. Dengan unsur ini manusia mampu mendayagunakan instrumen jasad dan hayatnya untuk menangkap dan memahami kebenaran (32:9, 15:29, 66:12, 58:22) yang kemudian akan memunculkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupannya. Ruh adalah kekuatan berfikir yang memungkinkan manusia menyusun pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran seperti yang dikatakan Al-Ghazali dalam Al-Ihya sebagai sesuatu yang halus dalam diri manusia yang akan memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat mengungkapkan pengertian serta bersifat ketuhanan.

Unsur-unsur inilah yang membetuk kedirian atau kepribadian manusia (al-nafs). Pribadi yang mempunyai pandangan, pemikiran, dan sikap yang kemungkinan berbeda satu-dengan yang lain. Masing-masing manusia bertanggunjawab atas apa yang dilakukannya (6:164) Heterogenitas manusia kemudian diaktualisasikan di dalam kehidupannya yang ditentukan oleh kemampuannya untuk mengubah dan mendayagunakan potensi diri (8:53, 13:11). Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam aktualisasi diri dan berada pada jalan kebenaranan akan senantiasa mendapat bimbingan-Nya (29:6).


b. Hakekat Manusia
Fitrah manusia adalah tunduk dan patuh kepada Allah Swt (30:30) sebagaimana diikrarkan ketika masih dalam rahim Ibu (7:172). Fitrah manusia juga dilengkapi dengan kecenderungan fujur dan taqwa (91:8). Dengan fitrah ini manusia memiliki nilai-nilai Ilahiyah yang berasal dari ruh-Nya (15:29, 38:72, 58:22). Dengan nilai dasar dan potensi dasar manusia akan membentuk jati dirinya (91:9-10) untuk mengarungi samudra kehidupan dalam rangka mengemban amanah (33:173) sebagai khalifah Allah. Fungsi Khalifah adalah bahwa manusia harus mampu mewujudkan kemakmuran dan menegakkan nilai-nilai Ilahiyah di muka bumi (2:30, 6:165, 27:62, 35:39).

Tugas kekhalifahan diberikan kepada manusia karena Allah telah memberikan kemampuan untuk memahami serta menguasai hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam seluruh ciptaanNya. Kemudian memunculkan kesadaran akan hakekat diri dan kehidupan dalam menjalankan tugas khalifah yaitu melalui akal yang terdiri dari pikir dan qalbu. Akal adalah daya ruh untuk memahami dan merasakan kebenaran yang bersifat mutlak (kebenaran Tuhan) dan kebenaran relatif (kebenaran pemahaman manusia akan realitas sekitarnya). Manusia menggunakan akal untuk memhami proses dinamika kehidupan (22:46), memahami dan meyakini Kitab Suci (12:2) mengerti hukum moral dan ibadah (6:151, 5:58) dan meyakini hari akhir (67:10) yang akan dapat menguatkan keimanan seseorang (2:76, 21:67). Dengan akal manusia mampu menyusun dan merumuskan konsepsi kehidupan serta melakukan rekayasa peradaban dan kebudayaan.

Tugas kekhalifahan adalah amanat Allah yang sesungguhnya merupakan realisasi penghambaan manusia sebagi abdullah. Hal ini menjadi jelas kita pahami karena sesungguhnya hakekat dan tujuan hidup manusia adalah semata-mata mengabdi kepada Allah Swt (52:56, 98:5). Dengan landasan kerangka moralitas ilahiyah ini semua aktifitas manusia adalah ibadah. Sehinggga upaya memakmurkan kehidupan atau menciptakan kebudayaan adalah aktifitas ibadah manusia dalam rangka merelisasikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Kesadaran akan realitas hidup manusia sebagai aktivitas ibadah menyebabkan munculnya aktifitas kebudayaan (amal). Kualitas amal menjadi indikator kualitas diri manusia baik di hadapan Allah maupun terhadap sesama manusia (9:105). Kualitas amal inilah yang mebedakan seorang manusia dengan lainnya. Semakin tinggi kualitas amal manusia semakin baik kualitas dirinya. Kualitas amal harus diiringi dengan kualitas iman, agar kualitas amal tersebut tidak hanya bermanfaat untuk manusia tapi juga di mata Allah sebagai pemberi amanah. Simultanitas kualitas iman dan amal akan menempatkan manusia sebagai insan kamil yang paling mulia dihadapan Allah (49:15). Oleh karenanya seluruh proses kehidupan adalah ujian terhadap amal perbuatan manusia (11:7). Untuk menghadapi ujian tersebut manusia diberi kebebasan untuk memilih dan berbuat yang didasarkan pada kesadaran dirinya (41:40, 91:8). Alternatif ini masing-masing membawa konsekuensi tersendiri yang harus dipertanggung-jawabkan. Kebebasan yang diberikan oleh Allah Swt ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan yang merupakan jaminan hak azazi untuk menempuh perjalanan hidupnya di dunia. Meskipun demikian Allah telah menunjukan jalan yang seharusnya ditempuh oleh manusia agar perjalanannya selamat (76:3).

Amal adalah wujud penjelasan kedirian manusia sebagai aktualisasi dari kedudukanya sebagai hamba Allah dan fungsinya sebagai pengemban amanah kekhalifahan di muka bumi. Amanah membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan baik kepada diri sendiri (6:164) maupun kepada Allah Swt (16:56, 17:36, 24:23-25, 36:65). Dengan demikian seluruh amal perbuatan manusia harus bisa dipertanggung-jawabkan secara benar. Mekanisme semacam ini akan menuntun manusia untuk selalu berusaha berbuat benar menurut landasan Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Dan akhirnya semua manusia bukan hanya sama; mereka adalah bersaudara.. Kesamaan berarti sama dalam konteks legal (hukum). Sementara persaudaraan memancarkan keseragaman sifat serta kecenderungan semua manusia; betapapun keanekaannya, namun manusia berasal dari sumber yang satu. Lelaki dan perempuan adalah sederajat. Lelaki dan perempuan diciptakan dari zat dan bahan yang sama, pada waktu yang sama, dan oleh Pencipta yang sama pula. Mereka adalah bersaudara, berasal dari ibu dan bapak yang sama.

Keunggulan manusia atas para malaikat maupun seluruh makhluk lain berpangkal pada pegetahuan. Islam mengajarkan bahwa di hadapan Allah, manusia bukanlah makhluk rendah, karena ia adalah wakil Allah dan pemikul amanahNya di muka bumi. Manusia menikmati afinitasnya dengan Allah, menerima pelajaran dariNya, dan telah menyaksikan betapa semua malaikat jatuh bersujud kepadanya. Manusia yang memikul beban tanggung jawab demikian, memerlukan agama yang tidak hanya beorientasi pada dunia atau akhirat semata, melainkan agama yang mengajarnya bagaimana memelihara keseimbangan. Hanyalah dengan agama demikian manusia bisa melaksanakan tanggung jawabnya yang besar.

Demikianlah diskripsi singkat akan makna manusia itu sendiri dalam kerangka pemahaman FG-PII, dengan kesadaran penuh akan hakikat manusia, maka rasa kepemimpinan tersebut akan timbul untuk mengarahkan, mengatur, mengelola dan mengembangkan kesadaran manusia terhadap eksistensi keberadaannya (Bang Dil). Jikalau sudah timbul kesadaran tersebut maka prinsip-prinsip hakikat manusia seperti penjelasan di atas akan dengan sendirinya membentuk suatu tatanan masyarakat yang berperadaban. Masyarakat Madani. Wallahu a’lam Bi’shawwab

You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Menuju Tatanan Masyarakat Madani"

Post a Comment

Al Azhar University

Blog Archive